KONSEP HUKUM PIDANA ISLAM: HUKUMAN UNTUK PEMINUM KHOMR

Menurut Imam Malik dan Imam Abu Hanifah, hukuman untuk peminum Khomr adalah dera delapan puluh kali. Sedangkan menurut Imam Syafi’i dan satu riwayat dari pendapat Imam Ahmad, hukuman untuk peminum Khomr adalah dera empat puluh kali. Akan tetapi, mereka membolehkan hukuman dera delapan puluh kali apabila hakim memandang perlu. Dengan demikian menurut pendapat Imam Syafi’i, hukuman hadnya empatpuluh kali dera, sedangkan kelebihanya, yaitu empat puluh kali dera lagi merupakan hukuman ta’zir.

Adapun sebab terjadinya perbedaan dalam penentuan hukuman ini adalah karena nas yang qoth’i yang mengatur tentang hukuman had bagi peminum Khomr ini tidak ada. Di samping itu, tidak ada riwayat yang memastikan adanya ijma’ sahabat dalam penetapan hukuman had bagi peminum Khomr, sebagaimana yang dikemukakan oleh satu kelompok. Walaupun Al Qur’an mengharamkan Khomr, yang kemudian diperkuat oleh hadis Nabi shollallohu ‘alayhi wa sallam, namun untuk hukumanya sama sekali tidak ditetapkan secara pasti. Rosululloh shollallohu ‘alayhi wa sallam menghukum peminum Khomr dengan pukulan yang sedikit atau banyak, tetapi tidak lebih dari empat puluh kali. Abu Bakar juga demikian. Pada masa pemerintahan kholifah Umar, beliau putragung memikirkan orang-orang yang bertambah banyak meminun Khomr. Beliau mengadakan diskusi dengan para sahabat untuk menetapkan hukumanya. Diantara sahabat yang berbicara adalah Abdurrohman putra Awf. Beliau mengatakan bahwa hukuman had yang paling ringan adalah delapan puluh kali dera. Sayidina Umar menyetujui pendapat tersebut dan ditetapkan sebagai keputusan bersama, yang kemudian dikirimkan ke daerah-daerah antara lain Syam yang waktu itu pejabatnya Kholid dan Abu Ubaydah.

Fuqoha yang menganggap bahwa hukuman had untuk peminum Khomr itu delapan puluh kali dera, berpendapat bahwa para sahabat telah sepakat (ijma’). Akan tetapi mereka yang berpendapat bahwa hukuman had untuk peminum Khomr itu empat puluh kali dera, beralasan dengan sunah, yang menjilid peminum Khomr dengan empat puluh kali dera, yang kemudian diikuti juga oleh kholifah Abu Bakar. Mereka berpendapat bahwa tindakan Nabi Muhammad shollallohu ‘alayhi wa sallam itu merupakan hujjah yang tidak boleh ditinggalkan karena adanya perbuatan orang lain. Dan ijma’ tidak boleh terjadi atas keputusan yang menyalahi perbuatan Nabi dan para sahabat. Dengan demikian mereka manafsirkan kelebihan empat puluh kali dera dari sayidina Umar itu merupakan hukuman ta’zir yang boleh diterapkan apabila kholifah (kepala negara) memandang perlu.

Dari uraian tersebut dapat dikemukakan bahwa para ulama sepakat, hukuma dera yang empat puluh kali jelas merupakan hak Alloh subhanahu wa ta ‘ala, yaitu merupakan hukuman had, sehingga hukuman tersebut tidak boleh dibatalkan. Akan tetapi dera yang empat puluh lagi ada perbedaan pendapat dikalangan para ulama. Sebagian menganggapnya sebagai had yang wajib dilaksanakan dengan dera yang empat puluh tadi, dan sebagian lainya menganggapnya sebagai ta’zir yang penerapanya diserahkan kepada kholifah (kepala negara).

Apabila terjadi beberapa kali perbuatan meminum Khomr sebelum dihukum salah satunya maka hukuman tersebut saling memasuki (tadakhul), artinya pelaku hanya dikenai satu jenis hukuman saja. Apabila hukuman had bagi peminum Khomr ini bergabung dengan hukuman mati, seperti ia meminum Khomr dan berzina sedang ia muhshan maka hukuman yang dilaksanakan cukup hukuman yang paling berat saja yaitu hukuman mati. Dalam hal ini hukuman mati menyerap hukuman lain yang lebih ringan. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam Ahmad. Akan tetapi menurut Imam Syafi’i, hukuman mati tidak menyerap hukuma lain yang lebih ringan, sehingga dengan demikian, semua hukuman harus dilaksanakan. Apabila hukuman had bagi peminum Khomr bergabung dengan bergabung dengan hukuman lain selain hukuman mati, maka hukuman-hukuman tersebut tidak saling memasuki, kecuali menurut Imam Malik dalam hukum had asy syurbu (minum) dan hukuman had qodzaf (penuduh zina) yang jenis hukumanya sama.

PEMBUKTIAN UNTUK JARIMAH SYURBUL KHOMR

Pembuktian untuk jarimah syurbul Khomr dapat dilakukan dengan tiga macam cara sebagai berikut.

[1] dengan saksi
Jumlah saksi minimal yang dibutuhkan untuk membuktikan jarimah syurbul Khomr adalah dua orang yang memenuhi syarat-syarat persaksian. Imam Abu Hanifah dan Imam Abu Yusuf mensyaratkan masih terdapatnya bau minuman pada waktu dilaksanakannya persaksian. Dengan demikian kedua Imam ini mengaitkan persaksian dengan bau minuman keras. Akan tetapi, Imam Muhammad ibn Hasan tidak mensyaratkan hal ini.

Syarat lain yang dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya adalah persksian atau peristiwa minum Khomrnya itu belum kedaluarsa. Batas kedaluarsa menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Abu Yusuf adalah hilangnya bau minuman. Adapun menurut Muhammad putra Hasan batas kedaluarsanya adalah satu bulan. Adapun menurut Imam Imam yang lain, tidak ada kedaluarsa dalam persaksian untuk membuktikan jarimah syurbul Khomr ini.

[2] dengan pengakuan

Jarimah syurbul Khomr dapat dibuktikan dengan adanya pengakuan dari pelaku. Pengakuan ini cukup satu kali, dan tidak perlu diulang-ulang sampai empat kali. Pengakuan untuk jarimah zina juga berlaku untuk pengakuan jarimah syurbul Khomr.

Imam Abu Hanifah dan Imam Abu Yusuf mensyaratkan pengakuan tersebutbelum kedaluarsa. Akan tetapi Imam Imam yang lain tidak mensyaratkannya.

[3] dengan qorinah

Jarimah minum Khomr juga dapat dibuktikan dengan qorinah. Qorinah tersebut antara lain sebagai berikut.
a) bau minum
Imam Malik berpendapat bahwa bau minuman keras dari mulut peminum Khomr merupakan suatu bukti dilakukannya perbuatan syurbul Khomr, meskipun tidak ada saksi. Akan tetapi Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, dan pendapat yang rajih dari Imam Ahmad berpendapat bau minuman semata-mata tidak bisa dijadikan sebagai alat bukti, karena mungkin saja sebenarnya ia tidak minum, melainkan hanya berkumur kumur, atau ia menyangka yang diminumnya itu air.
b) mabuk
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa mabuknya seseorang sudah merupakan bukti bahwa ia melakukan perbuatan minum Khomr. Apabila dua orang atau lebih menemukan seseorang dalam keadaan mabuk dan dari mulutnya keluar bau minuman keras maka orang yang mabuk harus dikenai hukuman had, yaitu dera empat puluh kali. Pendapat ini juga merupakan pendapat Imam Malik. Akan tetapi, Imam Syafi’i dan salah satu pendapat Imam Ahmad tidak menganggap mabuk semata-mata sebagai alat bukti tanpa ditunjang dengan bukti yang lain. Sebabnya adalah adanya kemungkinan minumnya itu dipaksa atau karena kesalahan.
c) muntah
Imam Malik berpendapat bahwa muntah merupakan alat bukti yang lebih kuat daripada sekedar bau minuman, karena pelaku tidak akan muntah kecuali setelah meminum minuman keras. Akan tetapi Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya tidak menganggap muntah sebagai alat bukti, kecuali ditunjang dengan bukti-bukti yang lain, misalnya terdapat bau Khomr dalam mulutnya.

Hal-hal yang menghalangi pelaksanaan hukuman

Hukuma untuk pelaku minum-minuman keras (Khomr) tidak bisa dilaksanakan apabila terdapat hal-hal sebagai berikut;
[1] pelaku mencabut pengakuannya, sedangkan bukti lain tidak ada.
[2] para saksi mencabut persaksianya, sedangkan bukti lain tidak ada.
[3] para saksi kehilangan kecakapannya setelah adanya putusan hakim tetapi sebelum pelaksanaan hukuman. Ini hanya pendapat Imam Abu Hanifah.


SUMBER

Muslich, Ahmad Wardi. 2005. Hukum Pidana Islam. Jakarta. Sinar Grafika.

About ngobrolislami

hamba ALLAH
This entry was posted in Uncategorized and tagged . Bookmark the permalink.

Leave a comment