KONSEP HUKUM PIDANA ISLAM: PERSAKSIAN SEBAGAI PEMBUKTIAN UNTUK TINDAK PIDANA ATAS JIWA, BUKAN JIWA, DAN JANIN

KONSEP HUKUM PIDANA ISLAM: PERSAKSIAN SEBAGAI PEMBUKTIAN UNTUK TINDAK PIDANA ATAS JIWA, BUKAN JIWA, DAN JANIN

Pengertian kesaksian, sebagaimana dikemukakan oleh Wahbah Zuhaili adalah sebagai berikut:
“persaksian adalah suatu pemberitahuan (pernyataan) yang benar untuk membutika suatu kebenaran dengan lafaz syahadat di depan pengadilan”

Penggunaan saksi sebagai alat pembuktian untuk suatu jarimah merupakan cara yang lazim dan umum. Karenanya persaksian merupakan cara pembuktian yang sangat penting dalam mengungkap suatu jarimah.

Dasar hukum untuk persaksian sebagai alat bukti terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunah. Dalam Al-Qur’an antara lain tercantum dalam:

Surat Al Baqarah ayat 282
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya.”
{Terjemah Qur’an surat Al Baqarah ayat 282}

Surat Ath Thalaaq ayat 2
“dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.”
{Terjemah Qur’an surat Ath Thalaaq}

Sumber dari sunah antara lain tercantum dalam hadis Amr ibn Syu’aib:
Dari Amr ibn Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, bahwa anaknya muhaishah yang paling kecil diketemukan terbunuh di pintu khaibar maka rasulullah saw bersabda;
“ajukanlah dua orang saksi atas orang yang membunuhnya, nanti saya berikan kepadamu tambang untuk mengqishash-nya..
{Hadis Riwayat Nasa’i}

Dalam pembuktian tindak pidana pembunuhan dan pelukaan (penganiayaan), para fuqaha membedakan antara jarimah yang hukuman nya badaniah, seperti qishash, dera, dan lain-lain dengan jarimah yang hukumanya maliah, seperti diat atau ganti rugi.

Jarimah yang hukumannya badaniah
Jarimah yang hukumannya badaniah ada kalanya qishash ada kalanya ta’zir. Untuk jarimah yang hukumannya qishash, menurut jumhur fuqaha, pembuktiannya harus dengan dua orang saksi laki-laki, dan tidak boleh dengan satu orang saksi laki-laki dan dua orang saksi perempuan, atau seorang saksi laki-laki ditambah sumpahnya korban. Ketentuan ini berlaku baik dalam qishash jiwa maupun bukan jiwa, kecuali pendapat Imam Malik. Menurut Imam Malik pembuktian dengan dua orang saksi laki-laki hanya berlaku dalam qishash atas jiwa saja. Adapun untuk qishash atas bukan jiwa, pembuktiannya bisa dengan seorang saksi laki-laki dan sumpahnya korban, dengan menggunakan dasar istihsan. Sedangkan menurut Imam al auza’i dan az zuhri, pembuktian untuk jarimah yang hukumannya maliah, yaitu bisa dengan dua orang saksi laki-laki atau seorang saksi laki-laki dan dua orang perempuan.

Untuk jarimah yang hukumannya ta’zir badaniah bersama-sama dengan qishash maka pembuktiannya sama dengan jarimah yang mewajibkan hukuman qishash. Adapun jarimah yang mewajibkan hukuman ta’zir badaniah tanpa qishash maka menurut Imam Syafi’i dan Imam Ahmad, pembuktiannya sama dengan jarimah yang hukumannya qishash, yaitu harus dengan dua orang saksi laki-laki yang adil. Hal ini karena hukuman badan itu merupakan hukuman yang cukup mengkhawatirkan, sehingga pembuhktian harus hati-hati. Sedangkan menurut Imam Malik, untuk pembuktian jarimah qishash selain jiwa bisa dengan saksi laki-laki dan sumpahnya korban, dan hukuman yang dijatuhkan disamping qishash ditambah dengan hukuman ta’zir. Menurut Imam Abu Hanifah, untuk membuktikan jarimah yang hukumannya ta’zir bisa digunakan dua saksi laki-laki yang salah satunya adalah korban, atau seorang saksi laki-laki dan dua orang perempuan. Bahkan menurut kedua muridnya dalam kasus ini, pembuktiannya cukup dengan seorang saksi laki-laki yang adil, atau dengan persaksian penuntut (korban) ditambah dengan keengganan bersumpahnya terdakwa, atau bahkan cukup dengan pengetahuan hakim (‘ilmul qadhi).

Jarimah yang hukumannya maliah
Menurut Imam Syafi’i dan Imam Ahmad pembuktian untuk jarimah yang hukumannya maliah, seperti diat atau ganti rugi, bisa dengan dua orang saksi laki-laki, atau seorang saksi laki-laki dan dua orang perempuan, atau seorang laki-laki dan sumpahnya penuntut (korban) atau keengganan bersumpahnya terdakwa. Malikiyah berbeda pendapatnya dengan Imam Syafi’i dan Imam Ahmad. Mereka (Malikiyah) membolehkan pembuktian untuk jarimah yang hukumannya maliah dengan saksi dua orang wanita di tambah dengan sumpahnya penuntut, sedangkan Imam Syafi’i dan Imam Ahmad tidak membolehkannya. Alasan mereka (Malikiyah) adalah bahwa dua orang perempuan dapat menggantikan seorang laki-laki dalam kedudukannya sebagai saksi dalam masalah harta benda. Karena itu maka dalam hukuman maliah dua orang perempuan juga bisa digunakan sebagai saksi untuk pembuktian tindak pidananya. Sedangakan menurut Imam Abu Hanifah dan pengikutnya, pembuktian tindak pidana yang hukumannya maliah dapat digunakan dua orang saksi laki-laki, atau seorang saksi laki-laki dan dua orang perempuan. Mereka tidak membolehkan digunakannya seorang saksi laki-laki ditambah dengan sumpah atau dua orang perempuan ditambah dengan sumpah, karena hal itu berarti menambah-nambah nas yang tercantum dalam surat Al Baqarah ayat 282. Disamping itu, rasulullah saw menyatakan dalam hadisnya;
…Dan diriwayatkan oleh al baihaqi dengan sanad yang sahih:
“keterangan (saksi) adalah hak penuntut, sedangkan sumpah adalah haknya terdakwa (orang yang ingkar).”

Ibnu Al Qayyim berpendapat bahwa tindak pidana yang hukumannya maliah dapat dibuktikan dengan seorang saksi tanpa diperkuat dengan sumpah, apabila hakim mempercayai dan meyakini keterangan yang disampaikan oleh saksi tersebut. Apabila hakim tidak meyakini keterangan saksi, karena keterangannya meragukan maka hakim dapat menolaknya.

Para fuqaha secara umum juga membolehkan pembuktian dengan seorang saksi laki-laki atau seorang perempuan dalam keadaan darurat baik untuk membuktikan substansi tindak pidana itu sendiri atau pengaruh dan akibat dari tindak pidana tersebut. Contoh untuk bagian pertama seperti kesaksian seorang guru atas jarimah yang terjadi di lingkungan sekolah oleh anak-anak. Sedangkan contoh untuk bagian kedua seperti kesaksian seorang dokter bahwa pemukulan mengakibatkan hilangnya manfaat salah satu anggota badan korban.

Pada akhirnya, kunci untuk diterimanya kesaksian adalah adanya keyakinan hakim. Apabila keterangan para saksi tidak seragam, atau bahkan bertentangan antara saksi yang satu dengan saksi yang lain maka kesaksian yang demikian tentu saja meragukan dan hakim sebagai pengambil keputusan tentu tidak yakin dan menolak kesaksian tersebut.

About ngobrolislami

hamba ALLAH
This entry was posted in Uncategorized and tagged . Bookmark the permalink.

Leave a comment